Waktu Tanpa Buku

Pertunjukan daring teater film dari produser Faiza Mardzoeki berjudul ‘WAKTU TANPA BUKU’ disingkat WTB, yang digarap oleh 5 sutradara perempuan yaitu Ramdiana dari Aceh, Heliana Sinaga dari Bandung, Ruth Marini dari Jakarta, Shinta Febriany dari Makassar dan Agnes Christina dari Yogyakarta. Selain itu melibatkan seniman teater Wawan Sofwan untuk menjadi konsultan pertunjukan. Pertunjukan ini dikerjakan dengan pendekatan aspek-aspek teater dan film.

Pembacaan para sutradara terhadap naskah WTB dari awal sudah dengan kesadaran bahwa pertunjukan ini akan diselenggarakan secara daring. Sehingga mereka menyiasati tidak terpaku pada kaidah pemanggungan saja. Mereka juga berpikir tentang pengambilan adegan secara sinematik. Setiap sutradara menggalinya melalui diskusi, mencari referensi dan sudah melibatkan dari awal sudut pandang kamera. Meskipun ada juga sutradara yang tetap mempertahankan sesuai dengan kaidah pemanggungan teater, tetapi tetap memperhitungkan sudut dan posisi kamera dalam prosesnya.

Dengan begitu, para sutradara ini sudah memiliki kesadaran penuh untuk menghadirkan kamera tidak hanya sebatas dokumentasi. Teater film WTB berdasarkan naskah drama yang ditulis oleh Lene Therese Teigen, dramawan Norwegia, yang mengangkat cerita tentang memori para korban kediktatoran masa lalu di Uruguay. Naskah tersebut ia tulis berdasarkan riset dan wawancara dengan para eksil dari Uruguay di Eropa. Kemudian naskah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faiza Mardzoeki.

Ia berpendapat bahwa drama tersebut sangat universal dan dekat sekali dengan kita di sini, di Indonesia. Drama WTB ini membongkar memori personal individu yang berangkat dari pengalaman pusaran besar gejolak politik bangsanya. Karakter-karakter yang diciptakan sangat kuat dan bisa menjadi representasi siapa saja yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Drama ini juga mampu berbicara kepada mereka yang hanya pernah mendengar secara bisik-bisik tentang apa yang pernah terjadi, maupun untuk pembaca generasi muda yang sama sekali jauh dari sejarah negerinya di masa lalu. Bersama Institut Ungu, ia mengajak para sutradara perempuan untuk menggarap naskah tersebut sebagai pernyataan bahwa persoalan hak asasi manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari hak kaum perempuan. ‘Women’s rights are human rights’. Akan ditayangkan secara daring pada tanggal 1-10 Desember yang didedikasikan untuk menyambut Hari Hak Asasi Manusia.