Tanggal 8 Maret 2014 lalu, seorang kawan, Yudi Anugrah namanya, mengajak saya untuk menonton sebuah pertunjukan teater bertajuk Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer. “Ceritanya tentang derita perempuan-perempuan tua korban keganasan politik era tahun 1965”, kata Yudi berpromosi pada saya. Dia bahkan dengan sangat niat menunjukkan pada saya trailer pementasan yang diunggah di YouTube. Sempat agak “maju-mundur” akibat gentar pada lalu lintas Jakarta di Sabtu malam, akhirnya saya jadi juga menonton pertunjukan yang ternyata sangat mengesankan itu. Generasi saya yang lahir di awal tahun ’80-an, harus “bersyukur” karena di era itu kami memelajari sejarah bangsa tanpa adanya “kebingungan”. Sejarah adalah cerita yang kebenarannya mutlak dan tidak perlu dipertanyakan. Sejarah, layaknya sebuah epos, adalah pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan. Sejarah adalah dikotomi hitam dan putih. Tak ada wilayah abu-abu di sana. Demikianlah. Coba, apa jadinya bila saya lahir di era ’90-an, atau bahkan 2000-an? Pasti saya akan bingung memelajari sejarah. Bagaimana tidak? Ternyata tradisi “pemelintiran” sejarah guna memenangkan pihak-pihak tertentu gak cuma ada di zaman Mataram Islam dulu. Ketika rezim telah berganti dan masyarakat mulai sadar bahwa ada kesalahan pada historiografi kita, kondisi tidak juga menjadi “baik” buat dunia kesejarahan Indonesia. Dan, bagai drama tragedi yang memilukan, ada pahlawan-pahlawan tak bersurat yang hidup dalam serba penderitaan, lahir dan batin. Buat mereka, kebahagiaan sejati adalah keadilan yang tak kunjung datang. Adalah Faiza Mardzoeki, penggiat seni sekaligus aktivis perempuan, pendiri Institut Ungu, sebuah organisasi yang berjuang di ranah hak asasi dan pembebasan perempuan melalui seni dan budaya. Dialah produser, sekaligus penulis naskah, merangkap sutradara Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer yang saya tonton bersama kawan saya Yudi Anugrah, ada pula Rembulan Randu, dan Amri Al-Fathon. Melalui buku program yang dibagikan dalam pementasan malam itu, saya mendapat informasi mengenai bagaimana sebuah kisah pilu dari Ibu Umi Sardjono, mantan pimpinan tertinggi sebuah organisasi perempuan Indonesia, Gerwani, mampu menggerakkan Faiza dan rekan-rekannya untuk mempersembahkan karya berlatar derita para perempuan eks tahanan politik ’65 dalam rangka Hari Perempuan Internasional 2014. Secara ringkas, gelaran teater di atas panggung Goethe Haus malam itu menampilkan lima tokoh perempuan di usia antara 70-80 tahun. Mereka adalah Eyang Ninik, Eyang Sulahana, Eyang Sumilah, Eyang Tarwih, dan Eyang Makmin. Dan ada satu perempuan muda di penghujung remaja. Dia cucu Eyang Ninik yang tak pernah merasai kasih orangtua. Namanya Ming. Ming hidup dalam selubung misteri tentang nenek dan keluarganya. Secara naluriah, sebagai sesama perempuan, ia menangkap adanya “rahasia rasa” yang disimpan rapat-rapat oleh neneknya. Di sisi lain, sang nenek pun dihantui perasaan bersalah karena tak mampu mengungkap kenyataan pahit yang sedikit-banyak ada kaitannya dengan Ming. Bahwa Ming punya sepupu. Ibunya bukan satu-satunya putri neneknya yang lahir waktu sang nenek ada di penjara. Eyang Ninik, nenek Ming, punya seorang anak laki-laki. Tapi bukan dengan Bung Dar, kakek Ming. Melainkan dengan kepala penjara. Itu pun bukan hubungan cinta. Eyang Ninik, nenek Ming, diperkosa. Tak kalah pedih cerita Eyang Sumilah. Dari niat suci seorang remaja polos untuk melakukan sesuatu buat Indonesia, buat membela Soekarno, pusaka seluruh bangsa, ia harus rela ditelanjangi pagi-pagi buta. Diinterogasi berulang-ulang begitu rupa, semata cuma untuk memaksakan lahirnya pengakuan yang tak benar adanya. Begitu pula dengan Eyang Sulahana yang semula cuma ingin belajar melukis. Atau Eyang Makmin dan Eyang Tarwih yang cuma ingin belajar menari. Para perempuan itu terpaksa merelakan diri dan hidupnya menjadi bulan-bulanan skenario busuk penguasa yang tak ingin kuasanya terancam barang selembar bulu. Ketika waktu terus berjalan, dan satu demi satu penguasa negeri berganti, lembar-lembar sejarah pun mulai dipertanyakan kebenarannya. Termasuk tentang para perempuan tahanan politik yang dulu dituduh tak lebih dari sekelompok perempuan tak bermoral yang berdarah dingin. Namun, kesadaran historis itu tak lantas membuat mereka menjalani masa tua dengan damai. Luka yang telah terlanjur membusuk itu tak kunjung mendapat penanganan yang memadai. Sekali lagi, keadilan tak pernah benar-benar datang dalam hidup mereka, bahkan ketika usia mereka tak lagi sanggup berpacu. Sungguh, ini merupakan drama yang sangat menyentuh buat saya. Pemanggungan yang demikian “cantik”-pun turut memberi jiwa bagi babak demi babak yang bergulir. Artistik? Sederhana, namun semua “bicara” sesuai fungsinya. Panggung dibagi dalam tiga ruang, masing-masing kamar tidur, ruang duduk, dan ruang makan. Kesemuanya mengambil tempat di rumah Eyang Ninik. Perpindahan ruang dibentuk melalui permainan lampu yang detil dan rapi. Perabotan? Simpel, tapi cukup representatif. Di belakang, dinding latar dibuat polos untuk menyorot beberapa potongan video dokumentasi kegiatan Gerwani, dan foto-foto kliping sejumlah surat kabar dengan headline yang menghujat para perempuan Gerwani. Musik? Wah, speechless. Faiza memang terbukti sangat “niat” dengan memercayakan urusan musik pada Marcelo Pelliteri, seorang musisi kelas dunia yang bisa Anda cari di Google kalau memang belum tahu dan penasaran (hehehe…). Satu lagi yang juara di masalah artistik pementasan Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer ini, yaitu tata busana dan riasnya. Gilak! Anda harus tahu bahwa para aktris pendukung pementasan ini berusia di bawah 70 tahun. Tentunya selain masalah bakat dan kepiawaian dalam berakting, dibutuhkan penata busana dan rias yang mampu mengeluarkan karakter “ketuaan” yang diinginkan. Dan pementasan ini berhasil melakukannya! Soal kualitas keaktoran, gak ada lain selain acung jempol, angkat topi, kalau perlu angkat tangan deh buat semua pemeran. Mbak Pipien alias Pinurti Soetjitro yang didaulat memerankan Eyang Niniek, ya ampuuunnn…. Jadi banget! Dulu, saya pernah beberapa kali menari (Jawa) dengan beliau. Lama gak ketemu, lalu secara insidental kami ketemu di UI waktu beliau sedang ada proyek buat film indie. Gak pernah tahu bahwa ternyata beliau ini juga ternyata jagoan dalam berakting. Gak salah lah beliau menjadi tokoh utama di pementasan ini. Pemeran lain, saya gak kenal. Tapi Uthe, alias Ruth Marini yang memerankan Eyang Sumilah, saya gak nyangka bahwa usianya belum setua tokoh yang diperankannya. Tapi gestur, intonasi bicara, dan penjiwaannya membuat dia beneran “masuk” banget dengan tokoh Eyang Sumilah yang ia perankan. Intinya, saya gak menyesal nonton pementasan ini, apalagi ketika mengetahui bahwa hasil penjualan tiket tanda masuk akan disumbangkan kepada para perempuan eks tahanan politik ’65 yang kini banyak di antaranya hidup dalam penderitaan. Well, teman.. Itulah Indonesia. Digadai oleh pemimpinnya sendiri kepada pihak luar entah siapa. Hasilnya, susah maju meski terlihat berkembang. Tak pernah benar-benar makmur meski terlihat subur. Tak pernah kaya, meski terlihat mewah. Luka yang dialami oleh para perempuan eks tahanan politik ’65 itu menjelma luka abadi yang terpaksa mereka bawa mati. Meski film bertema peristiwa seputar era tersebut gak lagi ditayangkan sebagai tontonan wajib, para perempuan itu tak pernah benar-benar mendapat keadilan. Pemerintah dan birokrat yang berwenang tampaknya belum melakukan upaya serius guna pelurusan sejarah kita di masa itu meski banyak kalangan dengan banyak media telah berupaya “menyentil” bahkan “menampar” pemerintah dengan membeberkan fakta-fakta yang ternyata jauh dari apa yang saya dan kawan-kawan saya pernah pelajari dalam sejarah. Komunis atau sosialis, bukanlah iblis. Sama saja dengan demokratis atau liberal. Cuma paham. Politik. Ideologi. Lagipula, apa enaknya berdemokrasi (Pancasila) ketika pada kenyataannya perlahan tapi pasti, bangsa ini mulai menjelma bangsa yang kapitalis. Pantas saja orang miskin makin banyak. Pantas saja menjadi kaya itu jadi sangat sulit. Padahal menjadi sejahtera itu adalah hak semua orang di negara ini yang seharusnya dilindungi dan diberi ruang. Lagipula, baru-baru ini, kenapa diskusi mengenai liberalisme dilarang dilakukan di UI ketika diskusi mengenai khilafah sebagai pengganti demokrasi Pancasila dibolehkan? Bangsa yang aneh…. Sungguh, Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer adalah refleksi kesejarahan yang meninggalkan kesan mendalam buat saya, ketika “kebanggaan” historis dibangun di atas luka begitu banyak anak bangsa yang tak berdosa. Ironis. Banyak cinta buat Anda! Diposkan oleh Wishnu Sudarmadji di 05.32 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Label: SENI DAN BUDAYA