PANGGIL SAJA KARTINI
Produser Faiza Mardzoeki
Sutradara Laksmi Notokusum
TEMPO Interaktif, Jakarta -Kartini bukan saja tokoh cerdas yang berasal dari kalangan ningrat. Namun, ia adalah pendobrak dari semua adat yang merugikan kaum perempuan pada zamannya. Ni, begitulah ia dipanggil oleh saudara-saudaranya. Rupa yang ayu, berlaku lembut, namun pemikirannya bergolak-golak.
Kartini yang diperankan oleh Asri Mery Sidowati, menarasikan cuplikan-cuplikan surat gadis Jepara ini dalam sketsa drama mini yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja yang digelar di Goethe Haus, Selasa malam (13/4) lalu.
“Ini bukan tafsir ulang tentang surat-surat Kartini. Tetapi murni membaca suratnya,” ujar sutradara sekaligus koreografer, Laksmi Notokusumo usai gladi bersih. Dalam proses penyusunan naskah, Laksmi dibantu oleh Umi Lasmina sebagai kurator ratusan surat-surat itu.
Hanya dalam waktu 2 pekan saja, ratusan surat-surat itu dicuplik kemudian dikolase menjadi sebuah naskah narasi. Hasilnya adalah sketsa drama berdurasi 90 menit. “Sangat susah menemukan buku-buku tentang surat Kartini. Seperti sudah hilang ditelan bumi,” ujar Laksmi.
Laksmi bermaksud mematahkan gambaran seorang Kartini yang angkuh, selalu menjaga wibawa seperti yang terlihat dalam foto-foto lawas itu. Dari surat-surat yang ia baca, Kartini ternyata juga memiliki sifat yang kekanak-kanakan, selalu menjaga penampilan sebagai perempuan agar tetap terlihat anggun. Bahkan ia tak mau ketinggalan oleh lingkungan yang menurutnya menyenangkan seperti membatik, berenang, maupun menari.
Laksmi seolah ingin menghadirkan kisah Kartini secara kompleks, tak melulu dirinya sendiri. Bersama kedua adiknya, Rukmini dan Kardinah, sepertinya mereka tak bisa terpisah satu sama lain. Bahkan pemikiran-pemikiran modern itu tak sekedar keluar dari pemikiran Kartini saja. Ia dibantu kedua adiknya, menggugat kedudukan perempuan yang selalu terbelakang dan kurang penting kehadirannya dibanding laki-laki.
Begitulah Kartini, Kardinah (diperankan oleh Poppy Parisa Agussusanti) dan Rukmini (Nana Sunar Sasih) mendapatkan pendidikan Eropa dari ayahnya. “Mulanya bahasa Belanda dalam surat Kartini sangat jelek. Tetapi kemudian oleh ayahnya didatangkanlah guru Belanda untuk mengajarinya bahasa tersebut,” ujar Laksmi.
Beberapa hal yang tak pernah kita duga sebelumnya dari sosok Kartini tergambar dari surat-suratnya. Pada awalnya, Kartini tidak menghendaki sebuah pernikahan karena melihat begitu banyak anak-anak terlantar pada saat itu. Dalam suratnya kepada sahabatnya Stella di Belanda, ia menulis apakah perempuan selalu dikatakan sempurna jika telah memiliki anak sementara mereka belum tentu bisa merawat anak-anaknya itu dengan baik. Gugatan-gugatan semacam itulah yang keluar dari pemikiran Kartini.
Bahkan lebih mencengangkan lagi, Kartini seolah tak sependapat dengan agama. Menurutnya, agama selalu saja membuat tatanan antara manusia satu dengan manusia lain menjadi buruk. “Tuhanku adalah nuraniku. Surgaku dan nerakaku adalah nuraniku,” ujar Kartini dalam sebuah suratnya. Tapi belakangan ia sadar bahwa bukan agama yang menjadi sebab tetapi perilaku manusia.
Tata panggung malam yang ditampilkan malam itu sangat sederhana. Oranamen yang digunakan adalah meja kerja Kartini dan kursi malas yang cukup mewakili setting tempat. Laksmi memampatkan sedemikian rupa naskah dari cuplikan-cuplikan ratusan surat yang menakjubkan itu.
Kisahnyapun dibuat dalam bentuk naratif. “Minim dialog antar pemain agar isi dan pesannya tidak bias,” ujar Laksmi. Tiga pemeran utama itu dibantu oleh empat gadis remaja masa kini dengan kostum pelajar SMU untuk menutur dan menyambungkan ungkapan-ungkapan surat Kartini.
Sumber: tempo.co.