MONOLOG
Menggugat Kesumpekan
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Rieke Diah Pitaloka bermonolog dalam Pentas Teater Monolog Perempuan Menuntut Malam; tentang Rumah, Cinta, Seks, Politik, dan Kekuasaan bersama Niniek L Karim dan Ria Irawan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat ( 7/3 ) .
Minggu, 9 Maret 2008 | 09:10 WIB
Ilham Khoiri
Apa yang bakal terjadi ketika ibu rumah tangga, perempuan politisi, dan pekerja seks komersial diberi ruang untuk mengeluarkan unek-uneknya? Ketiga perempuan berprofesi beda-beda itu ternyata sama-sama menggugat kondisi sosial-politik negeri ini yang masih saja menekan kaum perempuan.
Gugatan itu kental terasa pada pertunjukan teater monolog bertajuk Perempuan Menuntut Malam di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8-9 Maret malam. Pentas yang diproduksi Institut Ungu dan Yayasan Pitaloka itu menampilkan Niniek L Karim, Rieke Diah Pitaloka, dan Ria Irawan. Naskah ditulis Rieke dan Faiza Madzoeki.
Niniek, Rieke, dan Ria masing- masing memerankan tokoh ibu rumah tangga, politisi anggota parlemen, dan pekerja seks komersial (PSK). Ketiganya bergulat dengan persoalan sendiri-sendiri. Namun, persoalan itu akhirnya sama-sama berakar pada budaya patriarki yang masih saja menempatkan perempuan sebagai korban.
Lewat omelan saat memasak nasi goreng, seorang ibu rumah tangga bernama Ratna (diperankan Niniek L Karim) mengeluhkan lakon kekerasan dalam rumah tangga. Dia bercerita, awalnya kehidupan rumah tangganya dengan Mas Toni membahagiakan. Namun, lama-lama lelaki itu mulai kasar, bahkan main pukul. Ratna pun kabur.
Rupanya nasib buruk juga menimpa anak-anak Ratna, May, yang jadi korban kekerasan suaminya. Sang ibu pun membujuk anaknya agar mau meninggalkan suami yang kasar itu. Katanya, ”Cinta suami itu semestinya membahagiakan, bukan malah menindas istri dan anak-anak!”
Dalam sudut pandang berbeda, Rieke memainkan tokoh perempuan politisi yang mandi sambil menggerutui berbagai isu politik. Meski era kebebasan telah tiba, tetapi dunia politik—yang dihegemoni kaum lelaki—masih saja menyudutkan perempuan. Buktinya, meski jadi anggota parlemen, tokoh perempuan itu masih saja ditanyai soal-soal rumah tangga.
”Saat masih lajang, saya ditanya-tanya, kapan menikah? Setelah menikah, ditanya lagi, kapan punya anak? Giliran punya anak, eh malah banyak yang membicarakan, kok ibu itu sibuk sampai anaknya enggak keurus!”
Di belahan dunia yang lain, seorang PSK bernama Mariam (Ria Irawan) juga mempersoalkan perlakuan aparat negara, kaum agama, dan masyarakat umum yang selalu menyudutkan pekerja seks seperti dirinya. Padahal, Mariam terpaksa menjalani profesi itu setelah ibunya dibakar massa karena dituduh jadi pelacur, dan dia sendiri diperkosa oleh lelaki yang menggerebek ibunya.
Sumpek
Di luar soal-soal perempuan yang sudah kerap diwacanakan di negeri ini, monolog Perempuan Menuntut Malam punya momentum tersendiri. Sebagaimana pentas Sidang Susila oleh Teater Gandrik di tempat yang sama, pertengahan Februari lalu, monolog ini sama-sama bersemangat menyuarakan aspirasi kebebasan yang belakangan hendak dibatasi oleh sebagian masyarakat.
Memang, perubahan radikal tengah terjadi pada bangsa ini. Reformasi tahun 1998 telah melengserkan rezim otoriter Orde Baru dan menggantinya dengan masa penuh kebebasan. Namun, pergeseran yang mendadak itu juga memicu masa transisi.
Satu sisi, kebebasan memberikan keleluasaan bagi semua lapisan masyarakat untuk berpendapat. Pada sisi lain, kebebasan itu memicu pertarungan, bahkan memungkinkan pemaksaan kehendak. Kenyataannya, ada kelompok-kelompok yang berusaha membakukan pandangan normatif, bahkan tafsir teks agamanya, dalam peraturan legal.
Lewat aturan itu, setiap sendi kehidupan (pola pikir, perilaku, dan material kebudayaan) masyarakat, termasuk perempuan, hendak diarahkan untuk dikontrol oleh negara. Situasi ini meresahkan seniman yang menyadari, bahwa di balik wacana normatif itu, sebenarnya telah bermain—meminjam istilah Michael Foucault—relasi kuasa. Kekuasaan yang hendak menghegemoni kebenaran demi kepentingan kelompok tertentu.
”Nasi rames”
Penonton yang terbiasa menyaksikan monolog yang mengisahkan satu cerita utuh mungkin tak mudah menangkap fokus dari monolog Perempuan Menuntut Malam. Dengan menghadirkan tiga perempuan beserta tiga omelannya yang panjang-lebar, maka pentas sekitar dua jam itu akhirnya disesaki berbagai masalah yang bertumpuk-tumpuk. Kisah mereka menjadi fragmen- fragmen persoalan yang bertebaran di mana-mana.
Naskah yang bertendensi memuntahkan semua unek-unek perempuan dalam satu pentas, apalagi tanpa dibarengi banyak interaksi yang menyegarkan penonton, membuat monolog itu terasa berat atau datar begitu saja. Tak ada satu kisah menyentuh yang akhirnya benar-benar nyantol di kepala penonton untuk dibawa pulang.
”Memang, terlalu banyak yang ingin kami sampaikan. Jadinya kayak ’nasi rames’ ya. Tapi, bukankah persoalan perempuan memang bermacam-macam kayak nasi rames?” kata Niniek L Karim.
Untunglah, sutradara Zuki a.k.a. Kill the DJ cukup bisa mencairkan masalah itu. Panggung ditata minimalis dengan latar belakang lima layar putih yang besar. Layar itu diisi gambar-gambar adegan yang memperkuat naskah. Ada siaran televisi tentang kekerasan terhadap perempuan, ibu rumah tangga memotong bumbu, siluet Rieke yang mandi, atau lalu lintas di sudut jalanan yang biasa digunakan untuk mangkal para PSK.
Musik dan setting panggung yang disuaikan dengan tema yang dibicarakan turut memperkuat monolog. Setting jalanan dan musik dangdut koplo, misalnya, semakin mematangkan akting Ria Irawan yang bisa menghidupkan sosok pelacur yang penuh dendam akibat ibunya jadi korban kemarahan massa, suka bicara ngaco, tetapi kritis terhadap keadaan.
”Saya berusaha menggarap monolog menjadi peristiwa teater yang menarik,” kata Zuki. Seniman asal Yogyakarta ini pernah sukses menjadi pengarah dramaturgi untuk pentas Monolog Sarimin yang dimainkan Butet Kertaredjasa tahun 2007 lalu.
Kompas, Cetak,
PROSES
Naskah Direvisi Terus
Minggu, 9 Maret 2008 | 09:11 WIB
Lihat saja muka saya yang stres ini. Tiga hari lalu, naskah monolog masih direvisi lagi. Padahal, sebelumnya sudah direvisi berulang-ulang,” kata Rieke Diah Pitaloka saat jumpa pers di Galeri Cemara, Menteng, Rabu (5/3) sore.
Komentar itu dilontarkan Rieke untuk menggambarkan betapa proses produksi Teater Monolog Perempuan Menuntut Malam yang digelar untuk menyambut Hari Perempuan Sedunia itu tidaklah mudah. Bersama Faiza Madzokei, Rieke menulis naskah monolog pertamanya itu.
Naskah itu bermula dari bincang-bincang kedua perempuan itu sekitar November 2007. Kebetulan saat itu Faiza yang aktif mengelola Institut Ungu baru saja sukses mementaskan teater Nyai Ontosoroh di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Keduanya lantas sepakat untuk membuat naskah monolog yang menyuarakan aspirasi perempuan yang tersudut oleh negara, oleh tubuhnya sendiri, dan oleh urusan rumah tangga. Untuk memperkuat data-data, keduanya membuat survei di media massa, menemui korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ngobrol dengan pekerja seks komersial dan para aktivis perempuan.
Ternyata persoalan perempuan yang akan diangkat dalam monolog semakin banyak saja. Contohnya, Rancangan Undang-Undang Pornografi yang terus jadi bahan kontroversi. Muncul juga kasus Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang yang ternyata sempat digunakan untuk menangkap seorang perempuan pekerja yang pulang malam.
”Monolog kami anggap efektif karena bisa jadi cerminan bagi perempuan untuk melihat persoalan dirinya sendiri,” kata Faiza.
Sambil menyempurnakan naskah, tim dari Institut Ungu dan Yayasan Pitaloka berjibaku untuk mencari dana dari berbagai sumber. Untunglah, menjelang hari ”H”, dana sekitar Rp 500 juta yang dibutuhkan untuk pentas akhirnya terkumpul. Sebagian dana lagi diperoleh dari penjualan tiket seharga dari Rp 25.000 sampai Rp 100.000 yang sudah banyak dipesan sebelum hari-hari pentas.
Perempuan Menuntut Malam juga akan dipentaskan di Banda Aceh, 24 Maret, dan di Taman Budaya Bandung, 28-29 Maret. Khusus untuk pentas di Bandung dan Aceh, Ria Irawan bakal digantikan Maryam Supraba. Naskah Rieka-Faiza akan dilengkapi naskah baru tentang perkawinan di bawah tangan yang ditulis Tati Krisnawaty. (iam)