Jakarta, (Antara Sumbar) – Ruang Seni dan Budaya Perempuan, Institut Ungu, menggelar sebuah lakon teater yang merekonstruksi kisah para perempuan yang terpinggirkan dalam sejarah Indonesia, yaitu penyintas tahanan politik 1965.
Lakon teater bertajuk “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” itu memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2014 dan direncanakan digelar tiga hari berturut-turut pada 7-9 Maret 2014, di Ruang Teater GoetheHaus, Jakarta.
“Ini bukan sebuah pertunjukan yang gemerlap, melainkan kami mencoba merekonstruksi sejarah lewat para eyang-eyang itu ke masa kekinian,” kata produser, penulis sekaligus sutradara lakon tersebut, Faiza Mardzoeki, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Faiza mengakui bahwa proses pembuatan lakon tersebut melalui penelitian selama sedikitnya dua tahun dengan mewawancarai para perempuan penyintas tahanan politik 1965 di Yogyakarta, Solo, Klaten, Sragen, Jakarta bahkan hingga ke Swedia dan Belanda.
Di tengah masa riset itu, Faiza juga sempat mengunjungi lokasi yang sempat dipakai sebagai tempat isolasi para tahanan perempuan, Plantungan.
Para tokoh yang diceritakan dalam lakon tersebut, sebagai penyintas tahanan politik 1965 memiliki keterkaitan dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organisasi perempuan yang kerap diyakini memiliki afiliasi langsung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lakon “Nyanyi Sunyu Kembang-Kembang Genjer”, kata Faiza, mengangkat kisah pergulatan pikiran dan batin lima perempuan berusia 70-83 tahun yang sempat menjadi tahanan politik 1965 selama lebih dari sepuluh tahun.
Mereka berusaha bertahan menghadapi hari-hari di masa tuanya, bergulat dengan kenangan kegembiraan dan kebanggan di masa muda, sekaligus menanggung pengalaman pahit serta trauma akibat kekerasan yang diterima semasa menjadi tahanan politik, termasuk kekerasan seksual dan stigma yang dilekatkan oleh penguasa.
Faiza mengatakan persoalan riset yang panjang dan rumit kemudian menghadapi tantangan besar saat dirinya harus memutuskan bagaimana bangunan ceritanya disampaikan.
“Memang, akibat bahan yang sedemikian banyak, akhirnya untuk memutuskan bangunan ceritanya seperti apa itu menjadi tantangan terbesar,” katanya.
Naskah lakon yang rampung di awal Januari 2013 itu kemudian dilanjutkan dengan memasuki proses audisi pelakon dan proses latihan serta diskusi bersa tim kreatif sejak Oktober 2013.
Akan tetapi, proses audisi pelakon juga tidak berlangsung semulus itu, salah satunya, kata Faiza, disebabkan masih adanya kekhawatiran pelekatan stigma di antara kalangan muda atas keterlibatan mereka dalam lakon teater tersebut.
“Ada beberapa yang sempat mundur. Kekhawatiran di kalangan muda untuk maju sebagai pelakon dalam naskah ini, cukup banyak, termasuk ketakutan dituduh Gerwani dan PKI,” ujarnya.
Kekhawatiran itu, tidak mempengaruhi lima orang perempuan yang bergabung sebagai aktris dalam lakon tersebut yaitu Pipien Putri, Heliana Sinaga, Niniek L. Karim, Ruth Marini, Irawita Chaniago dan Ani Surestu.
Salah seorang pelakon, Ruth Marini, bercerita bahwa dirinya tidak banyak memikirkan tentang stigma bahkan kekhawatiran akan tuduhan bermain-main dengan subjektivitas keberpihakan politik, kala dia memutuskan mengambil peran dalam lakon tersebut.
“Ya intinya saya akan memainkan seorang perempuan dan dia Gerwani, itu saja modal saya untuk masuk ke dalam produksi teater ini,” kata Ruth.
Sementara salah seorang pelakon lain, Irawita Chaniago, justru termotivasi untuk ikut ambil bagian dalam lakon tersebut demi mewakili suara-suara yang selama ini terbungkam.
“Saya ingin mewakili suara-suara kecil yang selama ini dibungkam,” kata Irawati.
Lakon yang akan digelar dengan jadwal pukul 20.00 WIB pada 7-8 Maret dan pukul 15.00 WIB pada 9 Maret itu mendapat dukungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi Nasional Perempuan, Perempuan Mahardhika, Indonesia untuk Kemanusiaan dan Bites. (*/sun)