KOMPAS.com – Sejumlah tokoh dari berbagai profesi menghidupkan lagi sosok Kartini. Mereka membaca surat-suratnya seolah Kartini sedang berbicara menyampaikan isi hati dan pemikirannya.
Aktris Jajang C Noer mengawalinya dengan sajak Jiwa yang menyentuh, syahdu, dan romantis. Kata-kata yang disampaikan mewakili keinginan Kartini menemukan jiwa yang sama, yang seiring sejalan dengannya.
“Bahagia nian bila bertemu jiwa yang sama,” ujar Jajang mendayu, pada parade pembacaan surat-surat Kartini bertajuk “Membaca Suratnya, Terbitlah Terang,” di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (18/4/2013) lalu.
Sajak itu menjadi pembuka sebelum masuk pada parade pembacaan surat Kartini yang digagas Okky Madasari dan Faiza Mardzoeki, dengan dukungan Kopdar Budaya dan Ardhanary Institute. Para pembaca, seperti disampaikan Faiza, mewakili banyak pihak, dari mahasiswa, jurnalis, penyiar, penulis, aktor, produser teater, dosen, hingga buruh.
Winner Fransisca, menampilkan Kartini yang riang. Surat pertama pada Stella menggambarkan suasana perkenalan dan gagasan Kartini akan emansipasi. Katanya, sudah lama sekali dia (Kartini) menginginkan kebebasan. Selama ini sebagai perempuan, dia merasa dikurung di dalam rumah. Titik terang hanyalah saat dia bisa membaca buku dan menuliskan surat pada teman-temannya.
“Hukum dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka,” tuturnya.
Kartini tidak menyukai perkawinan dan poligami. Resah itu disampaikan Firliana Purwanti, dalam surat berikutnya. Kali ini tampak bagaimana gundahnya Kartini akan perkawinan, dan akan cinta yang rasanya mustahil ada.
Okky Madasari membawakan Kartini yang menyoalkan agama. Tentang agama Islam yang dia anut karena nenek moyangnya beragama Islam. Tentang Quran yang bisa dibaca, tapi tak dipahami maknanya. Alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, kalau hanya jadi sebab bunuh-bunuhan.
Suasana berganti. Kartini yang hadir lewat Tiga Setia Gara berikutnya adalah yang penuh semangat, berseri-seri, dan berteriak lantang lagi.
“Tahukah kamu apa semboyan saya, ‘Saya Mau!’ Dua patah kata pendek itu sudah melalui bergunung-gunung rintangan,” soraknya.
Faiza Mardzoeki meneruskan semangat itu dalam surat berikutnya. Bahwa jalan yang dia tempuh sekarang, berbatu-batu, terjal, dan belum dirintis. Jalan menuju kebebasan perempuan bumiputera.
Kartini yang bahagia karena boleh mengajar jadi guru dibawakan Yuniyanti Chuzaefah. Rasanya satu mimpi sudah terwujud. Pendidikan adalah perkara penting. Dan Ratna Rintiarno menggambarkan suasana yang sama. Di surat-surat ini, yang tampak adalah Kartini yang terus berdebat dengan pikiran-pikirannya.
Bagaimana bila Kartini bersedih? Ketika ayahnya jatuh sakit. Penonton menjadi terbawa suasana haru saat Juanita Wiratmaja terisak dan mendayu menahan tangis.
“Kesehatan ayah adalah utama, dan mimpi berasa makin jauh,” ujarnya meratap.
Waktu berlalu. Tommy F Awuy, satu-satunya pembaca surat laki-laki, menghadirkan Kartini yang kembali seperti sedia kala. Suaranya bernada riang, bahkan berkesan genit. Dosen filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, ini mengubah sedikit suara dan aksennya seperti perempuan.
Jumisih dan Laksmi Notokusumo membawakan Kartini yang suka bercerita dan bersemangat di setiap kata-katanya. Bagaimana ia bercerita tentang seorang anak malang yang ia temui di jalan, dan mendorongnya untuk tetap berjuang. Dan perihal perkara lain yang dihadapinya.
Di penghujung pembacaan, Ratna Riantiarno kembali membacakan surat. Ini surat terakhir yang ditulis 10 hari sebelum Kartini wafat.
Pengunjung yang memadati ruang Galeri Cipta 2 kerap terbawa suasana. Kartini seolah hadir selama dua jam pembacaan. Para pembaca benar-benar membuat Kartini hidup lagi, dan berbicara lewat surat-suratnya. Bahwa ternyata Kartini bukan hanya soal konde dan kebaya, tapi lebih dari itu, dia sosok yang kaya akan buah pikiran.